Bagaimana kita memahami perempuan? Haruskah cara kita bertanya tentang
perempuan menggunakan kata “siapa”, dan tak boleh dengan sebutan “apa”? Umumnya pemahaman kita mengenai perempuan terbatas, dan tak lepas dari sosok Ibu. Maka, perempuan harus ditanya dengan kata “siapa”, karena kita tahu perempuan itu sosok pribadi, “wanita”, dan tak boleh ditanya dengan “apa”, karena ia bukan “benda” meskipun kaidah Tata Bahasa Indonesia menganggapnya kata benda.Gramedia pernah menerbitkan buku kumpulan puisi, dengan judul Namaku Perempuan. Saya pembahas dalam acara Bedah Buku itu.“Apa pengertian perempuan di sana?”
Perempuan dipahami secara konvensional sebagai konsep biologis. Ia
sosok seorang Ibu. Hanya itu.
Dari salah satu puisi, “Bila Ibu Boleh Memilih”, tampak jelas bagaimana pemahaman penyair perempuan tentang perempuan. Kita diberi gambaran tentang seorang Ibu, yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan yang memiliki “kemewahan” merasakan hangatnya hidup dalam “memberi” dan “melindungi” .
Lalu tampil pula “ideologi” perang sabil: perempuan yang meninggal karena melahirkan dianggap masuk sorga.
“Karena menunggu dari jam ke jam, menit ke menit kelahiranmu / adalah seperti menunggu antrian memasuki salah satu pintu sorga”.
Petikan dari puisi lain, berjudul “Mak”: “Dia,/Wanita berkaca mata/Menggelar kain/Mengangkat tinggi benang dan jarum/Benang itu hitam sekalian ‘Maka’/ Jarumnya lepas.”
Tentu saja kita bebas memilih perempuan itu hendak kita sebut “siapa”, atau harus diidealisasikan, dan disimbolkan sebagai “apa”. Tapi pilihan “siapa” dan “apa” ini ternyata tak sesederhana sebagaimana dampaknya.
Di sana terbentang jarak abad, atau zaman, yang terus menerus berubah.
Berabad-abad lalu kita mengenal hanya satu pemahaman: perempuan sebagai konsep biologis. Tapi sekarang tak begitu lagi.
Bangsa kita punya Ibu Kartini. Kita sebut beliau putri sejati. Harum namanya. Dan ini bukan konsep biologis biarpun disimbolkan sebagai ibu. Ibu kita Kartini adalah konsep perilaku. Dan kalau kita mengidealkan beliau putri sejati, maka perempuan, bagi orang
Indonesia, haruslah orang “gerakan”, “pemikir”, “aktivis”, yang selalu sibuk bukan mempercantik diri dengan sanggul sebesar tampah dan kebaya agak ketat biar tampak “aduhai”, melainkan sibuk dengan usaha pembebasan “kaumnya”, atau lebih luas “bangsanya” dari banyak jerat: kemiskinan, kebodohan, keterpinggiran politik, dominasi budaya, termasuk jerat yang tercermin di dalam agama, atau “perilaku keagamaan” di dalam masyarakat kita.
Tapi orang Indonesia tetap orang Indonesia. Kita tak pernah bisa lepas dari suatu paradoks: Ibu kita Kartini, tokoh “gerakan”, tokoh pemikir”, tokoh “pembebasan” tapi kita bingkai pula dengan cara pandang mitologis, mendekati tokoh dalam dongeng yang melebihi batas sejarahnya, dan kita peringati secara meriah, dan sangat ekspresif,
dengan tampilan biologisnya sebagai putri Jawa.
“Bagaimana Sarinah, dalam citra Bung Karno?” Biarpun sangat mengerti akan arti kecantikan, Bung Karno tidak memberi Sarinah makna biologis. Bagi Bung Karno perempuan – Sarinah – itu konsep perilaku.
Bung Karno memandang perempuan sebagai tiang masyarakat. Bila baik
perempuannya, maka baiklah masyarakatnya. Perempuan, pendeknya, kita
tempatkan dalam seting sosial-politik, dan kebudayaan, sebagai tokoh.
Selebihnya kita bisa memberi makna perempuan sebagai agen pembaruan,
terutama di masyarakat yang sedang resah, atau di masyarakat yang
mulai sadar, dan gigih berjuang bagi keadilan gender, dan usaha
mendorong sedikit posisi laki-laki agar tak kelewat mendominasi papan
catur kehidupan.
Semua orang tahu, dunia tak dicipta semata untuk kaum laki-laki. Hukum
keseimbangan hidup: siang-malam, terang-gelap, maju-mundur,
naik-turun, tinggi-rendah, besar-kecil, panas-dingin, baik-buruk,
mulia-nista, penguasa-rakyat, tuan-hamba, harus dijaga.
Juga relasi kekuasaan laki-laki dengan perempuan. Ini pun bagian dari
hukum keseimbangan hidup yang harus ditata agar betul-betul seimbang.
Kawan-kawan dalam “Pokja Perempuan” sejak lama berjuang sebagai agen
pembaruan. Salah satu agenda utama perjuangan mereka menuntut
keterwakilan perempuan di dalam parlemen.
Memang tidak mudah memperoleh jumlah politisi perempuan sebesar 30%
sebagaimana disyaratkan dalam kuota. Untuk memenuhi syarat minimal pun
ternyata susah. Apa lagi mencari tokoh politik perempuan yang andal,
terdidik, berpengalaman, fasih berdiplomasi dan luas wawasan politiknya.
Perjuangan mencapai kuota tadi, di parlemen di pusat -di mana banyak
orang pandai – pun susah. Apa lagi di daerah-daerah.
Tapi para anggota “Pokja Perempuan” tetap gigih. Mereka memiliki
kesabaran dalam perjuangan meraih target itu.
Paling cepat kita bisa mencapainya pada tahun 2024? Dan ini tidak
lama. Kita memiliki banyak tokoh perempuan sebagai agen perubahan.
Bidang gerak mereka meliputi pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi,
dan kebudayaan.
Tapi jangan lupa pula para tokoh perempuan yang tak pernah letih
memperjuangkan kaum miskin melalui strategi penataan kota agar
kota-kota kita ramah pada kaum miskin. Janganlah kemiskinan
dikriminalkan hanya karena tak becus mengatur warga secara adil.
Kota bukan milik wali kota, atau gubernur. Kota juga milik kaum
miskin. Kota pun bukan milik laki-laki. Ia juga milik perempuan.
Perempuan sering pula menjadi kata makian untuk ketidaktegasan, atau
kepengecutan. Ini berbahaya. Perempuan tegas tak kurang banyaknya.
Perempuan berani berlimpah ruah. Mereka membawa janji melakukan
femininisasi kehidupan. Biar hidup lebih feminin. Lebih lembut. Tapi
akankah hidup ini disebut “perempuan”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar